Selasa, 11 Maret 2014

PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN
Disisi Tuhan, laki-laki dan perempuan adalah sama. Yang membedakannya adalah faktor keimanan dan ketakwaannya. Selain itu, semua hal adalah wilayah yang dapat dinegosiasikan. Termasuk didalamnya ruang kerja domestik dan publik. Tidak ada tendensi superioritas dan inferioritas pada salah satunya. Semuanya murni pembagian kerja teknis. Namun, di Indonesia masih terdapat banyak kasus diskriminasi terhadap perempuan baik dalam kehidupan sehari-hari seperti kekerasan dalam rumah tangga, atau diskriminasi lain dalam dunia kerja yaitu peran perempuan dalam dunia kerja, baik kesetaraan dalam karier dan pekerjaan, maupun perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan.
Meskipun Indonesia sudah meratifikasi sejumlah konvensi internasional tentang perburuhan, konvensi tentang anti kekerasan dan perlindungan perempuan. Tetapi, kasus diskriminasi terhadap buruh perempuan masih ada, Komnas Perempuan tahun lalu mencatat masih terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap buruh perempuan. Mulai dari dipersulit untuk mendapatkan izin menikah, izin cuti hamil, izin cuti haid, hingga tidak adanya fasilitas tempat menyusui atau ASI di tempat kerja.
Murahnya upah pekerja perempuan dipakai sebagai salah satu alat promosi untuk menarik investasi. Investasi meningkat diikuti  dengan meningkatnya keterlibatan perempuan di sector public upahan, baik dalam dan luar negeri. Investasi telah berhasil menaikkan nilai ekspor dan dapat memicu pertumbuhan ekonomi, tetapi status pekerja perempuan tidak mengalami perubahan. Diskriminasi upah dan keterbatasan jaminan sosial menyebabkan pekerja perempuan tetap berada dalam posisi marjinal.
Komnas Perempuan juga mencatat ada PHK sepihak pada perempuan yang menimpa para perempuan hamil dan PHK sepihak kepada perempuan yang menjadi single parents atau orang tua tunggal. Ada juga perempuan yang menjadi tulang punggung pencari nafkah keluarga. Selain itu, perempuan juga sulit untuk mendapatkan pekerjaan serta kenaikan jabatan dalam pekerjaannya. Wanita juga dihadapkan pada kurangnya fasilitas saat bekerja seperti tidaknya adanya transportasi bagi para buruh wanita yang pulang pada dini hari. Jam kerja yang panjang dalam arti melebihi jam kerja pada umumnya, upah yang rendah serta tidak adanya kompensasi dan tunjangan bagi perempuan selama masa kerjanya.
Diskriminasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di dalam negeri, para perempuan yang mengadu nasib di luar negeri juga mendapatkan perlakuan yang diskriminatif. Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan juga kerap terjadi dalam konteks migrasi menyangkut perlindungan tenaga kerja perempuan. Ketidakadaan landasan hukum dan supremasi hukum menyebabkan nasib para perempuan baik di dalam maupun di luar negeri semakin terancam dengan realita yang ada. Bagaimanakah jalan terbaik untuk melindungi hak-hak kaum perempuan di Indonesia? Kebijakan apakah yang harus dilakukan pemerintah untuk melindungi hak kaum wanita?
Ada banyak hal yang melatarbelakangi mengapa terjadi ketimpangan peran antara perempuan dan laki-laki. Setidaknya, ada tiga perspektif yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa terjadi ketimpangan peran antara perempuan dan laki-laki dalam pembangunan. Salah satunya adalah perspektif mutu modal manusia (human capital) yang asumsinya berakar pada teori neoklasik (Tiano, 1987). Perspektif ini menekankan bahwa keterlibatan perempuan di pasar kerja (sector public) merupakan tuntutan pembangunan dan hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi. Tanpa keterlibatan itu sulit bagi perempuan untuk mengubah dan memperbaiki nasib dan memperbaiki kualitas hidup. Keterlibatan dalam pasar kerja diharapkan lambat laun memperbaiki status perempuan. Dunia kerja memungkinkan bagi perempuan untuk memperbaiki keterampilan dan mutu kehidupan ketimbang tetap bertahan di sector domestic. Pembangunan dan modernisasi membuka kesempatan bagi para perempuan untuk memasuki sector public (modern) untuk mendapatkan upah. Peluang itu dapat membantu perempuan keluar dari kungkungan sector domestic atau sector tradisional (pertanian), biasanya bekerja tanpa upah (Bhasin,1993). Peluang kerja upahan di sector modern membuka kemungkinan bagi kaum perempuan untuk menentukan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam upaya mengembangkan diri serta memperbaiki kondisi kehidupan antara lain dengan meningkatkan pendidikan dan keterampilan.
Sayangnya, perspektif ini kurang mendapat dukungan realitas sosial di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di negara-negara berkembang, persaingan terbuka yang didasarkan pada kualitas sumber daya manusia (human capital) belum atau tidak berjalan seperti asumsi teori neoklasik. Beberapa studi empiris menemukan bahwa peluang kerja dan upah pekerja perempuan tidak sepenuhnya didasarkan pada pendidikan dan keterampilan. Justru, industri-industri merekrut pekerja perempuan dari pedesaan yang kurang berpendidikan dan kebanyakan berasal dari keluarga miskin (Mater, 1985; Wolf, 1986; Prisma, 1989; Singarimbun dan Sairin, 1995). Realitas itu sangat bertentangan dengan asumsi human capital. Pertimbangan memperkerjakan perempuan mungkin didasarkan pada kesediaannya dibayar murah karena ada kelebihan tenaga kerja (labour surplus) dan tekanan kemiskinan.
Tidak hanya secara teoritis, namun dalam kenyataannya para perkerja perempuan mendapatkan perbedaan yang signifikan baik secara sikap maupun financial. Penghasilan pekerja perempuan terlampau jauh dibawah penghasilan kaum laki-laki. Hal tersebut dikarenakan banyak pihak yang beranggapan kaum perempuan tidak mampu bekerja sebagai mana kaum laki-laki bekerja. Adanya keadaan jasmani yang menyebabkan setiap bulan kaum perempuan mengalami haid serta keadaan dimana kaum perempuan akan hamil. Hal-hal tersebut dianggap akan merugikan perusahaan-perusahaan tempat perempuan bekerja karena perusahaan akan mengalami kerugian secara financial ketika harus tetap memberikan upah kepada pekerja perempuan. Kaum perempuan juga kerap mendapatkan sikap kurang sopan atau bahkan pelecehan.
Namun, dalam kenyataannya ada banyak perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak para pekerja perempuannya. Hal tersebut terbukti dengan adanya perbedaan dalam hal pemberian upah dengan pekerja laki-laki dimana pekerja laki-laki mendapat upah lebih banyak dibandingkan dengan upah pekerja perempuan. Dalam hal kompensasi, tunjangan dan asuransi pekerja perempuan juga mendapatkan perlakuan yang sama dimana kenyataannya apa yang mereka peroleh berada dibawah para pekerja laki-laki. Tidak hanya masalah penghasilan, pekerja perempuan juga tidak mendapatkan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kaum perempuan juga acap kali mendapatkan perlakuan yang tidak sopan atau pelecehan yang dilakukan oleh para kaum laki-laki.
Harusnya hal itu tidak terjadi dalam dunia kerja, karena pada kenyataannya kaum perempuan justru mampu melakukan apa yang dilakukan kaum laki-laki, hal tersebut terlihat dari jam kerja yang dimiliki kaum perempuan lebih panjang dibandingkan dengan kaum laki-laki. Perusahaan juga banyak yang memanfaatkan pekerja perempuan untuk mengurangi biaya operasi perusahaan. Seharusnya perusahaan mampu memfasilitasi, menyediakan, melindungi, dan mengayomi para pekerja perempuan sebagai suatu timbal balik atas jasa yang mereka peroleh dari para pekerja perempuan.
Tidak hanya perusahaan yang harus melindungi dan mengayomi kaum perempuan. Pemerintah juga harus melakukan hal yang sama, sebagai bentuk perlindungan dan pertanggungjawabannya terhadap warga negaranya karena bagaimana pun juga pekerja perempuan telah ikut berkontribusi dalam upaya pembangunan nasional. Pengusaha dan pekerja perempuan adalah adalah unsure penting dalam proses akumulasi modal yang diperlukan untuk membiayai anggaran pembangunan negara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya memelihara hubungan pengusaha dengan pekerja perempuan berarti memelihara kesinambungan pembangunan.
Salah satu upaya yang perlu dipikirkan adalah memperkuat posisi pekerja perempuan dengan mengizinkan pekerja perempuan membentuk suatu serikat pekerja perempuan yang bebas dari pengaruh pengusaha. Serikat pekerja ini merupakan lembaga yang sangat diperlukan dalam menjaga hubungan antar pekerja perempuan dengan perusahaan. Lembaga ini sangat perlu difasilitasi dan dipelihara oleh pemertintah. Perkara dan sengketa antara pekerja perempuan dan perusahaan seyogyanya ditangani oleh serikat ini dan bukan oleh pemerintah. Karena ada kemungkinan pemerintah akan melindungi kepentingan pengusaha karena dilihat dari sisi financial suatu perusahaan akan membantu pertumbuhan ekonomi negara sehingga mengesampingkan kepentingan pekerja perempuan. Untuk itu serikat pekerja perempuan sangat diperlukan sebagai perantara antara negara, pekerja perempuan dan pengusaha. Adanya serikat pekerja perempuan yang independen, tanpa campur tangan negara, maka konflik buruh dan negara kemungkinan dapat dikurangi. Hal ini sekaligus memperkuat posisi pekerja perempuan dalam proses pembangunan.
Diperlukan juga undang-undang atau ketetapan hukum yang mengikat dan melindungi hak-hak pekerja perempuan, yang sesuai dengan kebutuhan pekerja perempuan dan disepakati oleh pengusaha sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Adanya sanksi dan hukuman yang berat kepada para pelanggar hak kaum perempuan juga diperlukan serta supremasi hukum yang nyata dan tegas dalam realitas saat ini sangat diperlukan untuk melindungi hak kaum perempuan.
Selain upaya-upaya perlindungan pekerja perempuan seperti pembentukan serikat pekerja perempuan yang independen, undang-undang atau ketetapan hukum yang tegas dan mengikat untuk melindungi kaum perempuan, public juga dituntut untuk membuka mata dan melihat pada kenyataan walaupun pada dasarnya perempuan lemah tapi sebenarnya perempuan mampu. Tanpa adanya sikap menyadari dan rasa saling menghargai kaum perempuan akan selalu diremehkan. Ketimpangan peran antara kaum perempuan dan laki-laki adalah sebuah fase dimana semua orang dituntut untuk mampu melihat sebenarnya memang ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki, namun hal tersebut bukan berarti mengharuskan perempuan selalu berada di bawah laki-laki. Berikan kaum perempuan kepercayaan maka kaum perempuan pun akan mampu menunjukkan kemampuannya tanpa harus melupakan kodratnya.
Kaum perempuan sebagai warga negara juga berhak mendapatkan perlindungan hukum, dan kenyamanan sehingga terhindar dari segala macam bentuk kekerasan, pelecehan dan diskriminasi. Sistem budaya patriarki yang telah lama hidup di Indonesia setidaknya sedikit demi sedikit dikurangi. Indonesia benar-benar membutuhkan landasan hukum yang riil dalam hal kesetaraan peran antara laki-laki dengan perempuan. Serta supremasi hukum tanpa pandang bulu.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Tadjudin Noer. 2000. “Pembangunan, Krisis, dan Arah Reformasi”. Surakarta: Muhammadiyah University Press.


A Bachelor of Communication, a Certified Google Partner and Campaign Manager at DGPro Digital Agency.

0 komentar:

Posting Komentar

Start Work With Me

Contact Us
SILVIA ARIYA MARETA
+6285643137317
Purwokerto, Indonesia