PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN
Disisi Tuhan,
laki-laki dan perempuan adalah sama. Yang membedakannya adalah faktor keimanan
dan ketakwaannya. Selain itu, semua hal adalah wilayah yang dapat
dinegosiasikan. Termasuk didalamnya ruang kerja domestik dan publik. Tidak ada
tendensi superioritas dan inferioritas pada salah satunya. Semuanya murni
pembagian kerja teknis. Namun, di Indonesia masih terdapat banyak kasus
diskriminasi terhadap perempuan baik dalam kehidupan sehari-hari seperti
kekerasan dalam rumah tangga, atau diskriminasi lain dalam dunia kerja yaitu
peran perempuan dalam dunia kerja, baik kesetaraan dalam karier dan pekerjaan,
maupun perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan.
Meskipun
Indonesia sudah meratifikasi sejumlah konvensi internasional tentang perburuhan,
konvensi tentang anti kekerasan dan perlindungan perempuan. Tetapi, kasus
diskriminasi terhadap buruh perempuan masih ada, Komnas Perempuan tahun lalu mencatat masih terjadi
kekerasan dan diskriminasi terhadap buruh perempuan. Mulai dari dipersulit
untuk mendapatkan izin menikah, izin cuti hamil, izin cuti haid, hingga tidak
adanya fasilitas tempat menyusui atau ASI di tempat kerja.
Murahnya
upah pekerja perempuan dipakai sebagai salah satu alat promosi untuk menarik
investasi. Investasi meningkat diikuti
dengan meningkatnya keterlibatan perempuan di sector public upahan, baik
dalam dan luar negeri. Investasi telah berhasil menaikkan nilai ekspor dan
dapat memicu pertumbuhan ekonomi, tetapi status pekerja perempuan tidak
mengalami perubahan. Diskriminasi upah dan keterbatasan jaminan sosial
menyebabkan pekerja perempuan tetap berada dalam posisi marjinal.
Komnas Perempuan
juga mencatat ada PHK sepihak pada perempuan yang menimpa para perempuan hamil
dan PHK sepihak kepada perempuan yang menjadi single parents atau orang tua
tunggal. Ada juga perempuan yang menjadi tulang punggung pencari nafkah
keluarga. Selain itu, perempuan juga sulit untuk mendapatkan pekerjaan serta
kenaikan jabatan dalam pekerjaannya. Wanita juga dihadapkan pada kurangnya
fasilitas saat bekerja seperti tidaknya adanya transportasi bagi para buruh
wanita yang pulang pada dini hari. Jam kerja yang panjang dalam arti melebihi
jam kerja pada umumnya, upah yang rendah serta tidak adanya kompensasi dan
tunjangan bagi perempuan selama masa kerjanya.
Diskriminasi
terhadap perempuan tidak hanya terjadi di dalam negeri, para perempuan yang
mengadu nasib di luar negeri juga mendapatkan perlakuan yang diskriminatif.
Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan juga kerap terjadi dalam konteks
migrasi menyangkut perlindungan tenaga kerja perempuan. Ketidakadaan landasan
hukum dan supremasi hukum menyebabkan nasib para perempuan baik di dalam maupun
di luar negeri semakin terancam dengan realita yang ada. Bagaimanakah jalan terbaik untuk melindungi hak-hak
kaum perempuan di Indonesia? Kebijakan apakah yang harus dilakukan pemerintah
untuk melindungi hak kaum wanita?
Ada
banyak hal yang melatarbelakangi mengapa terjadi ketimpangan peran antara
perempuan dan laki-laki. Setidaknya, ada tiga perspektif yang dapat dipakai
untuk menjelaskan mengapa terjadi ketimpangan peran antara perempuan dan
laki-laki dalam pembangunan. Salah satunya adalah perspektif mutu modal manusia (human capital) yang asumsinya berakar
pada teori neoklasik (Tiano, 1987). Perspektif ini menekankan bahwa
keterlibatan perempuan di pasar kerja (sector public) merupakan tuntutan
pembangunan dan hal yang tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi. Tanpa
keterlibatan itu sulit bagi perempuan untuk mengubah dan memperbaiki nasib dan
memperbaiki kualitas hidup. Keterlibatan dalam pasar kerja diharapkan lambat
laun memperbaiki status perempuan. Dunia kerja memungkinkan bagi perempuan untuk
memperbaiki keterampilan dan mutu kehidupan ketimbang tetap bertahan di sector
domestic. Pembangunan dan modernisasi membuka kesempatan bagi para perempuan
untuk memasuki sector public (modern) untuk mendapatkan upah. Peluang itu dapat
membantu perempuan keluar dari kungkungan sector domestic atau sector
tradisional (pertanian), biasanya bekerja tanpa upah (Bhasin,1993). Peluang
kerja upahan di sector modern membuka kemungkinan bagi kaum perempuan untuk
menentukan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam upaya mengembangkan diri serta
memperbaiki kondisi kehidupan antara lain dengan meningkatkan pendidikan dan
keterampilan.
Sayangnya,
perspektif ini kurang mendapat dukungan realitas sosial di negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Di negara-negara berkembang, persaingan terbuka
yang didasarkan pada kualitas sumber daya manusia (human capital) belum atau tidak berjalan seperti asumsi teori
neoklasik. Beberapa studi empiris menemukan bahwa peluang kerja dan upah
pekerja perempuan tidak sepenuhnya didasarkan pada pendidikan dan keterampilan.
Justru, industri-industri merekrut pekerja perempuan dari pedesaan yang kurang
berpendidikan dan kebanyakan berasal dari keluarga miskin (Mater, 1985; Wolf,
1986; Prisma, 1989; Singarimbun dan Sairin, 1995). Realitas itu sangat
bertentangan dengan asumsi human capital.
Pertimbangan memperkerjakan perempuan mungkin didasarkan pada kesediaannya
dibayar murah karena ada kelebihan tenaga kerja (labour surplus) dan tekanan kemiskinan.
Tidak
hanya secara teoritis, namun dalam kenyataannya para perkerja perempuan
mendapatkan perbedaan yang signifikan baik secara sikap maupun financial.
Penghasilan pekerja perempuan terlampau jauh dibawah penghasilan kaum
laki-laki. Hal tersebut dikarenakan banyak pihak yang beranggapan kaum perempuan
tidak mampu bekerja sebagai mana kaum laki-laki bekerja. Adanya keadaan jasmani
yang menyebabkan setiap bulan kaum perempuan mengalami haid serta keadaan
dimana kaum perempuan akan hamil. Hal-hal tersebut dianggap akan merugikan perusahaan-perusahaan
tempat perempuan bekerja karena perusahaan akan mengalami kerugian secara
financial ketika harus tetap memberikan upah kepada pekerja perempuan. Kaum
perempuan juga kerap mendapatkan sikap kurang sopan atau bahkan pelecehan.
Namun,
dalam kenyataannya ada banyak perusahaan yang tidak memenuhi hak-hak para
pekerja perempuannya. Hal tersebut terbukti dengan adanya perbedaan dalam hal
pemberian upah dengan pekerja laki-laki dimana pekerja laki-laki mendapat upah
lebih banyak dibandingkan dengan upah pekerja perempuan. Dalam hal kompensasi,
tunjangan dan asuransi pekerja perempuan juga mendapatkan perlakuan yang sama
dimana kenyataannya apa yang mereka peroleh berada dibawah para pekerja
laki-laki. Tidak hanya masalah penghasilan, pekerja perempuan juga tidak mendapatkan
fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kaum perempuan juga acap kali
mendapatkan perlakuan yang tidak sopan atau pelecehan yang dilakukan oleh para
kaum laki-laki.
Harusnya
hal itu tidak terjadi dalam dunia kerja, karena pada kenyataannya kaum
perempuan justru mampu melakukan apa yang dilakukan kaum laki-laki, hal
tersebut terlihat dari jam kerja yang dimiliki kaum perempuan lebih panjang
dibandingkan dengan kaum laki-laki. Perusahaan juga banyak yang memanfaatkan
pekerja perempuan untuk mengurangi biaya operasi perusahaan. Seharusnya
perusahaan mampu memfasilitasi, menyediakan, melindungi, dan mengayomi para
pekerja perempuan sebagai suatu timbal balik atas jasa yang mereka peroleh dari
para pekerja perempuan.
Tidak
hanya perusahaan yang harus melindungi dan mengayomi kaum perempuan. Pemerintah
juga harus melakukan hal yang sama, sebagai bentuk perlindungan dan
pertanggungjawabannya terhadap warga negaranya karena bagaimana pun juga
pekerja perempuan telah ikut berkontribusi dalam upaya pembangunan nasional. Pengusaha
dan pekerja perempuan adalah adalah unsure penting dalam proses akumulasi modal
yang diperlukan untuk membiayai anggaran pembangunan negara dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Upaya memelihara hubungan pengusaha dengan
pekerja perempuan berarti memelihara kesinambungan pembangunan.
Salah
satu upaya yang perlu dipikirkan adalah memperkuat posisi pekerja perempuan
dengan mengizinkan pekerja perempuan membentuk suatu serikat pekerja perempuan
yang bebas dari pengaruh pengusaha. Serikat pekerja ini merupakan lembaga yang
sangat diperlukan dalam menjaga hubungan antar pekerja perempuan dengan
perusahaan. Lembaga ini sangat perlu difasilitasi dan dipelihara oleh
pemertintah. Perkara dan sengketa antara pekerja perempuan dan perusahaan
seyogyanya ditangani oleh serikat ini dan bukan oleh pemerintah. Karena ada
kemungkinan pemerintah akan melindungi kepentingan pengusaha karena dilihat
dari sisi financial suatu perusahaan akan membantu pertumbuhan ekonomi negara
sehingga mengesampingkan kepentingan pekerja perempuan. Untuk itu serikat
pekerja perempuan sangat diperlukan sebagai perantara antara negara, pekerja
perempuan dan pengusaha. Adanya serikat pekerja perempuan yang independen,
tanpa campur tangan negara, maka konflik buruh dan negara kemungkinan dapat
dikurangi. Hal ini sekaligus memperkuat posisi pekerja perempuan dalam proses
pembangunan.
Diperlukan
juga undang-undang atau ketetapan hukum yang mengikat dan melindungi hak-hak
pekerja perempuan, yang sesuai dengan kebutuhan pekerja perempuan dan
disepakati oleh pengusaha sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Adanya sanksi dan hukuman yang berat kepada para pelanggar hak kaum perempuan
juga diperlukan serta supremasi hukum yang nyata dan tegas dalam realitas saat
ini sangat diperlukan untuk melindungi hak kaum perempuan.
Selain
upaya-upaya perlindungan pekerja perempuan seperti pembentukan serikat pekerja
perempuan yang independen, undang-undang atau ketetapan hukum yang tegas dan
mengikat untuk melindungi kaum perempuan, public juga dituntut untuk membuka
mata dan melihat pada kenyataan walaupun pada dasarnya perempuan lemah tapi
sebenarnya perempuan mampu. Tanpa adanya sikap menyadari dan rasa saling
menghargai kaum perempuan akan selalu diremehkan. Ketimpangan peran antara kaum
perempuan dan laki-laki adalah sebuah fase dimana semua orang dituntut untuk
mampu melihat sebenarnya memang ada perbedaan mendasar antara perempuan dan
laki-laki, namun hal tersebut bukan berarti mengharuskan perempuan selalu
berada di bawah laki-laki. Berikan kaum perempuan kepercayaan maka kaum
perempuan pun akan mampu menunjukkan kemampuannya tanpa harus melupakan
kodratnya.
Kaum
perempuan sebagai warga negara juga berhak mendapatkan perlindungan hukum, dan
kenyamanan sehingga terhindar dari segala macam bentuk kekerasan, pelecehan dan
diskriminasi. Sistem budaya patriarki yang telah lama hidup di Indonesia
setidaknya sedikit demi sedikit dikurangi. Indonesia benar-benar membutuhkan
landasan hukum yang riil dalam hal kesetaraan peran antara laki-laki dengan
perempuan. Serta supremasi hukum tanpa pandang bulu.
DAFTAR
PUSTAKA
Effendi, Tadjudin Noer.
2000. “Pembangunan, Krisis, dan Arah
Reformasi”. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
0 komentar:
Posting Komentar