Jumat, 18 April 2014

Laris manisnya Teknologi Karena Budaya
Sudah bukan rahasia umum lagi jika saat ini teknologi telah merubah perilaku, kebudayaan bahkan pola pikir masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia yang notabenenya adalah masyarakat berkembang. Kemudahan teknologi dan masuknya kebudayaan dari Negara lain tidak jarang disalahartikan oleh masyarakat Indonesia. Karena kurangnya kesadaran dari masyarakat Indonesia tentang pentingnya menyaring informasi atau pun hal-hal baru yang diterima. Hal ini seolah-olah sudah membudaya didalam diri masyarakat Indonesia sehingga budaya secara tidak langsung juga mempengaruhi dan mendorong berkembangnya teknologi.
Kali ini saya akan membahas tentang kaitan cultural study  dengan perkembangan teknologi komunikasi yang ada di Indonesia. Dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang kebanyakan adalah masyarakat berkembang dan dengan tingkat kesadaran yang tergolong rendah cocok sebagai objek sebuah penelitian yang berdasar pada cultural study. Mengapa perlu diadakan cultural study dalam mempelajari teknologi komunikasi? Dan apa sesungguhnya cultural study tersebut? Semuanya akan saya coba jelaskan dalam esai kali ini.
Mengutip ucapan Hall tentang cultural studies, ”cultural studies is not and never has been one thing, but that doesn’t not mean that it is anything and everything” (Hall, 1990: 11). Cultural study sejatinya melihat sesuatu hal yang berkaitan dengan teknologi tidak hanya dari satu sisi tetapi dari sudut pandang lain yang memiliki keterkaitan lain dengan teknologi. Bagaimana suatu teknologi mampu mempengaruhi dan merubah pola kehidupan seseorang atau bahkan suatu masyarakat. Karena teknologi bukan hanya sekedar perangkat, teknik, dan sistem yang biasa kita mengerti sebagai teknologi tapi juga memiliki suatu tujuan tertentu yang akan ditenun menjadi sebuah tekstur eksistensi sehari hari.
Cultural studies adalah mengenai hal-hal interdisiplin, transdisiplin, dan kadang antar disiplin. (1992: 4). Cultural studies melakukan study tentang segala bentuk seni, kepercayaan, institusi dan praktek komunikatif di dalam masyarakat. (1992: 4). Cultural studies secara sederhana tidak hanya sebagai sebuah catatan-catatan tentang perubahan budaya melainkan sebagai sebuah intervensi di dalamnya (1992: 5). Dengan kata lain, cultural studies tidak hanya mencatat perubahan yang ada seperti imitasi yang dilakukan oleh anak muda tetapi meneliti lebih dalam tentang bagaimana pengalaman seseorang tentang suatu hal, terutama teknologi dapat merubah mereka. Bukan tentang apa yang merubah mereka melainkan bagaimana hal tersebut mampu merubah mereka.
Teknologi saat ini juga tidak luput dari penelitian cultural studies karena teknologi dapat berkembang di suatu masyarakat tidak terlepas dari adanya dorongan kebudayaan masyarakat itu sendiri sehingga memperkuat kehadiran teknologi di dalam masyarakat. Teknologi menjadi bagian tak terhapuskan dari budaya modern. (Winner, 1986:12), mustahil jika diantara teknologi dan kebudayaan tidak saling mempengaruhi satu sama lain, keduanya terefleksikan dari budaya dan kondisi perkembangan budaya yang lebih lanjut.
Contoh nyata yang ada disekitar kita adalah mudahnya teknologi atau bahkan kebudayaan dari Negara lain masuk ke dalam keseharian masyarakat dan diterima bahkan seolah-olah menjadi kebutuhan serta kewajiban yang harus dimiliki oleh orang Indonesia. Bisa kita lihat dari banyaknya pengguna jejaring sosial di Indonesia dan Indonesia menjadi pasar utama penjualan gadget, terutama Blackberry. Seperti yang kita tahu, di pasaran luar negeri Blackberry hampir tidak bisa bersaing dengan merk dagang yang sudah tenar seperti Samsung, apple, HTC dan lain sebagianya. Tapi di Indonesia, smartphone ini justru laris manis dan bahkan seperti sebuah virus di masyarakat terutama remaja. Ibarat kata, barangsiapa yang tidak menggunakan Blackberry dan memiliki akun jejaring sosial adalah seseorang yang tidak gaul dan ketinggalan zaman. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan produsen, tetapi kita juga perlu melihat sisi masyarakat Indonesia yang pada dasarnya terbuka dan mudah dipengaruhi.
Pemikiran tersebut sebenarnya sudah membudaya sejak dahulu, dimana masyarakat Indonesia memang ramah dan mau menerima sesuatu yang baru, mau mencoba tetapi sayangnya orang Indonesia mudah terpengaruh. Hal itu juga berkaitan dengan sebagian masyarakat Indonesia yang mayoritas agraris dengan pendidikan menengah ke bawah membuat mereka mudah dipengaruhi dan mudah menyerap apa yang mereka dilihat atau dengar. Tentu saja hal ini tidak jauh dengan kebiasaan orang Indonesia terutama orang Jawa yang suka berbagi cerita, dengan kebiasaan saling cerita tadi, mereka lebih suka mendengar dan mempercayai informasi yang mereka dapatkan daripada menyaringnya dan mencari kebenaran tentang hal tersebut.
Kebudayaan tadi juga secara tidak langsung tertanam pada generasi selanjutnya dan berdampak pada pemilihan teknologi bahkan pandangan mereka terhadap teknologi. Ketika masyarakat Indonesia mendengar tentang kemutakhiran BBM atau Blackbery Messenger, masyarakat berbondong-bondong untuk memilikinya dan menggunakannya. Tanpa mereka ketahui bahwa di luar negeri seperti Amerika dan Inggris, Blackberry sudah tidak digunakan lagi oleh masyarakat disana karena rentan diretas atau di-hack.. Begitu juga yang terjadi pada jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Path yang sukses mendapatkan peringkat 5 besar dengan pengakses terbanyak di dunia.
Dari contoh di atas dapat dilihat juga bagaimana teknologi tidak hanya mempengaruhi tingkah laku tetapi juga kehidupan di sekitar kita baik secara sosial ekonomi, dan politik. Itu mengapa cultural studies mempelajari pengaruh teknologi dengan topic bahasan utamanya adalah perubahan yang terjadi di dalam ekonomi, politik, identitas, space dan gender terkait dengan adanya teknologi.
Pengalaman seseorang memanfaatkan teknologi menimbulkan sebuah perubahan yang tidak hanya terjadi di suatu bidang melainkan mempengaruhi bidang yang lain. Dengan adanya teknologi kegiatan perekonomian menjadi lebih mudah, efisien dan tidak memakan banyak waktu. Tetapi dengan adanya teknologi kegiatan jual beli secara langsung seperti di pasar tradisional seolah-olah hilang dimakan terobosan online shopping. Dari sisi gender, dulu yang dianggap mampu memanfaatkan teknologi hanya kaum laki-laki tapi kini kaum wanita juga mampu memanfaatkan teknologi. Dari sisi budaya segi gender hanya sebatas masalah jenis kelamin. Seorang bisa saja mengaku jenis kelaminnya perempuan atau laki-laki hanya untuk sebuah identitasnya di dunia maya. Identitas seseorang di dunia maya dan dunia nyata juga bisa dipertanyakan karena kini bisa saja seseorang memiliki sisi kepribadian berbeda baik di dunia nyata maupun maya. Dari sisi space, orang-orang mungkin bebas berekspresi di dunia maya dibandingkan di dunia nyata.
Diperlukan sebuah upaya untuk meningkatkan kecerdasan dan kesadaran masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan dan menggunakan teknologi. Harus ada sebuah keterbukaan atau literasi media yang dimiliki masyarakat sehingga mereka mampu menyaring informasi dan hal-hal yang baru tanpa harus meninggalkan budaya yang ada. Banyaknya perubahan yang bisa dilihat dari sisi budaya dari adanya teknologi tidak serta merta kita harus menolak teknologi yang ada. Hanya saja kita harus bisa bersikap bijak dan cerdas dalam memanfaatkan teknologi yang ada.

A Bachelor of Communication, a Certified Google Partner and Campaign Manager at DGPro Digital Agency.

0 komentar:

Posting Komentar

Start Work With Me

Contact Us
SILVIA ARIYA MARETA
+6285643137317
Purwokerto, Indonesia